Cerpen : Pemarah

Pemarah

            “Kenapa kau buat dia nangis?”, kata seorang Ibu yang masih muda tertuju padaku. Bicara dalam hatiku, “Aku tidak sejahat itu, sudahlah”. Seorang Ibu muda yang memiliki dua anak, yang pertama laki-laki dan kedua perempuan. Aku berperan sebagai tetangga, “yah dibilang kayak adegan sinetron, memang sepertinya”. Ibu muda tersebut setiap hari meminta tolong pada keluargaku, sebenarnya aku benar tidak suka pada Ibu muda itu, biasa aku panggil kakak. Mau gimana-gimana kami masih memiliki ikatan keluarga. Saling membantu adalah cara yang diajarkan oleh kedua orang tua ku. Pagi hari saat Ibuku membangunkan diriku yang saat pulas tidur untuk menjalankan ibadah Sholat Subuh. Aku terbangun dengan mata seperti tertempel barbel seberat 10 kg rasanya begitu berat. Mengambil air Wudhu dengan rasa kantuk harus tetap menjalankan. Selesai menjalankan ibadah Sholat Subuh, aku masuk kamar.
            Terdengar dari luar rumah kakak yang memiliki dua anak tadi mengajak anak-anaknya keluar rumahnya, berjalan seperti menuju rumahku. Kakak yang memiliki kedua anak itu sebenarnya bernama Tuti, kalau kupanggil kakak Tuti. Dengan rasa yang tidak bersalah, sebenarnya sudah mengetahui adanya tamu berkunjung. Aku langsung membuang badan, setelah jatuh dikasur Ibuku teriak keras, “Budi tidak ada malas-malasan, laki-laki tidak bias dicontoh, mau jadi orang miskin kamu?”. Budi itu namaku beserta panggilan ku. Aku terbangun segera, tahu suara keras tadi keluar dari Ibuku. Bertemu Ibu dipintu keluar kamar, Ibu menyuruhku untuk menjaga anaknya Kak Tuti. Rasanya gak niat saat masuk kamar tamu, pertama yang kulihat Kak Tuti. Batinku mengatakan, “menyebalkan”. Kenapa aku sering jenuh saat melihat Kak Tuti, karena beliau mudah marah atau dibilang sensitif hanya untuk menyenangkan nafsu sebentar dan jarang melihat sekitar. “Maaf hati ku terbawa emosi dan jadi ngomongin orang tentang keburukannya, sebenarnya ini gak boleh lho, tetapi semua ada sebab dan akibatnya, juga harus jelas”, kata batinku saat perasaan fluktuatif.
            Menjaga anak-anaknya Kak Tuti dan mengajaknya jalan-jalan keluar rumah. Muka cemberut yang telah melekat pada kekesalan yang aku miliki, tetap harus dibawa. Kak Tuti setelah menitipkan anak-anaknya ke keluargaku langsung pamit mau belanja sayur, sekalian mau masak buat sarapan. Mengajak anak-anak bermain sampai jam 8 pagi. Kak Tuti menjemput anak-anaknya dirumah ku. Saat itu anak keduanya masih bermain dengan air minum yang akhirnya tumpah mengenai baju anak keduanya menjadi basah. Kak Tuti langsung memberitahuku dengan suara keras, “kenapa kamu biarin aja Budi”. “Tak kirain dia haus?”, aku menjawab. “Kamu kan tahu dia masih kecil, kamu itu sembarangan aja gak ngawasi, ya udah tak pulang dulu, tolong ini dibersihkan” kata Kak Tuti.
            Aku sering sebal pada perkataan Kak Tuti, yang kadang membuat hatiku sangat marah, aku pun gak mau menampakannya, itu datang hanya sebentar, sekuat tenaga aku lupakan secepat-cepatnya, biar tidak jadi dendam. Walau seperti itu Kak Tuti, sebenarnya dia baik, kalau Kak Tuti masak dalam porsi besar, tak lupa membagikan pada keluargaku. Saat hari lebaran Kak Tuti tak pernah absen memberiku amplop yang berisi ijo-ijo atau uang hehe. Selalu berpikir bila orang saling menghormati satu dengan yang lainnya gak bakalan ada lagi marah, egois, dkk (dan kawan-kawan). Zaman dimana masih ada peperangan itu hal yang benar, hidup hanya membutuhkan kedamaian tak lebih.
            Menjelang sore hari, aku yang masih membaca buku, kembali kedatangan tamu, siapa raja atau ratu yang bertamu? Masih tetap tamu tadi pagi, yaitu Kak Tuti, keperluannya masih sama menitipkan anaknya dengan kepentingan mau mandi. Tutup buku aku menemui Kak Tuti untuk menjaga anak-anaknya. Kak Tuti pulang kerumahnya, aku langsung mengajak anak-anaknya keluar rumah. Bermain bersama diluar rumah, anak pertama Kak Tuti sulit untuk diberitahu, pikirku, “mungkin masih berumur tiga tahun”. Aku paling tidak suka memakai cara yang lama saat menghadapi orang lain. Kuancam anak laki-laki Kak Tuti dengan nanti kalau nakal tak cubit sampai nangis. Kadang berkali-kali aku mengancam anak laki-laki Kak Tuti baru mau nurut, tapi kalau aku agak lembut. Saat bermain ini anak laki-laki Kak Tuti bener gak mau nurut, gak mikir panjang aku langsung teriak didepan anak itu. Hanya selang beberapa detik aku teriak atau memarahinya sambil mengancam, dia langsung menangis keras. Kak Tuti baru keluar pintu ruma langsung menemuiku dan memarahi tanpa tanya terlebih dahulu.
            Aku mencoba menyadarkan Kak Tuti tanpa harus emosi lagi, hanya mendengarkan kata-kataku, Kak Tuti tidak mau sama sekali memahamiku. Kak Tuti berkat, “kamu harusnya tidak mengkasari anak-anakku, kenapa kamu selalu membuat nangis anakku, kalau tak sanggup atau merasa dirugikan, aku juga tak minta banyak, keluarga juga enggak sering menjaga anak-anakku sampai lama”. Aku mendengarkan perkataan Kak Tuti tanpa menjawab lagi. Kak Tuti menatapku dengan tatapan galak, berkata kencang, “ayo anak-anak, jaga cuma dua anak saja gak ikhlas”. Perasaan carut-marut gak karuan aku alami. Terdiam ditempat yang masih sama saat tadi dimarahi. Rasa tidak suka yang menyelimuti hati, batin sesak berkata, “kenapa keluarga ku diikut sertakan dalam kesalahan ku, sebenarnya aku gak terima”.

            Pulang kerumah, Ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk nanti malam merasakan kehadiranku, Ibu teriak menyuruhku untuk menemui beliau didapur. “Tadi aku dengar suara Kak Tuti sepertinya lagi rebut-ribut dengan kamu nak?” pertanyaan Ibu kepada ku. “Iya Bu”, jawab ku. “Ada masalah apa, coba ceritakan ke Ibu?”, tanya Ibu sembari mencuci kentang. “Tadi aku bersalah Bu tanpa piker panjang aku membentang anaknya Kak Tuti terus menangis kencang, selang beberapa menit Ibunya keluar rumah, Kak Tuti bilang sesuatu yang sebenarnya membuatku sakit”. “Baik intropeksi diri terlebih dahulu daripada dicela orang lain karena kesalahan yang sama, memang ada perkataan Kak Tuti yang sampai membuat mu sakit nak, tolong sekalian jelaskan pada Ibu?”, tanya Ibu sambil menata peralatan memasak. “Ada Bu, aku yang salah, kenapa keluarga ku juga diikut sertakan, juga Kak Tuti tidak mau memahami perkataan ku, sepertinya aku kayak disuruh mendengarkan kata-katanya sampai selesai terus pergi”, jawab ku dengan melihat ke lantai. “Jangan lupa anakku, kepada siapa pun harus menghormati, kita diciptakan memiliki dua telinga dan satu mulut, harus lebih banyak mendengar daripada bicara, lidah tak memiliki tulang lebih baik banyak diam, daripada terlalu banyak mengeluarkan dosa” kata Ibu dengan tersenyum melihat ku. Aku juga tersenyum, batinku berkata, “iya Bu, aku mengerti”.                   

Comments

Popular posts from this blog

Tepung Terigu dan Standar Nasional Tepung Terigu

PT. So Good Food Jl. Raya Solo - Boyolali

Tepung Tapioka kegunaannya dan Standar Nasional