Temulawak Untuk Olahan Pangan



Temulawak merupakan tanaman obat yang secara alami sangat mudah tumbuh di Indonesia dengan dukungan kondisi iklim dan tanahnya dan telah lama digunakan sebagai bahan pembuatan jamu. Selama periode 1985-1989 Indonesia mengekspor temulawak sebanyak 36.602 kg senilai US$ 21.157,2 setiap tahun (Menegristek, 2009).
Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak (fixed oil), selulosa dan mineral. Diantara komponen tersebut, yang paling banyak keguanaannya adalah pati, kurkuminoid dan minyak atsiri. Ketiga komponen ini banyak digunakan dalam bidang industri maupun kebutuhan rumah tangga. Pati temulawak berwarna putih kekuningan karena mengandung kurkuminoid. Pati temulawak dapat digunakan sebagai bahan makanan misalnya bahan makanan bayi atau makanan seseorang pasca sakit karena pati temulawak mudah dicerna. Selain itu, pati temulawak juga dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat. Pati temulawak juga dapat digunakan sebagai campuran pati lain, misalnya sebagai pati sereal untuk mengurangi sifat basi roti maupun pengental sirup (Afifah dan Tim Lentera, 2003).

Menurut Rukmana (1995), temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Rimpang induk temulawak bentuknya bulat telur, rimpang cabang terdapat disampingnya berbentuk memanjang. Tiap rumpun tanaman temulawak umumnya memiliki 6 buah rimpang tua dan 5 buah rimpang muda.
Menurut Rukmana (1995), kedudukan taksonomi temulawak adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas: Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorriza Roxb.

Salah satu komoditas bahan alam andalan Indonesia, yakni temulawak (Curcuma Xanthoriza ROXB), merupakan bahan yang sangat strategis untuk dikembangkan mengingat banyaknya manfaat yang ditunjukkan oleh bahan aktif  kurkuminoid. Telah dilaporkan bahwa bahan alam ini dikonsumsi dalam bentuk campuran senyawa diarilheptanoid, yakni kurkumin (1), demetoksi kurkumin (2), dan bisdemetoksikurkumin (3).
Zat warna kuning alami yang diperbolehkan untuk pewarna makanan ini telah cukup lama dikenal sebagai obat batuk, obat gangguan hati, rematik, dan sinusitis (review: Jayaprakasha, 2005). Keberadaan gugusan phenolik pada ketiga senyawa tersebut dilaporkan juga menyebabkan aktivitas antioksidan yang kuat pada system biologis (Ahsan, 1998), sehingga dapat mencegah penyakit -penyakit yang berhubungan dengan reaksi peroksidasi. Bahkan, Institut Nasional Kanker telah mencoba mengembangkan bahan ini dalam uji klinis anti kanker (Kelloff, 2000), dan penelitian-penelitian praklinis lain terus dilakukan terhadap sel kanker yang lain (Iqbal, 2003).
Di Indonesia, bahan baku kurkumnoid dari rimpang temulawak dimanfaatkan oleh industri obat dalam bentuk segar dan/atau dalam bentuk simplisia. Penyimpanan simplisia dalam bentuk kering sangat dibutuhkan masyarakat guna mengatasi kendala over suplay pada saat musim panen. Secara tradisional, bahan ini dipoduksi melalui tahapan perajangan dengan pisau atau mesin, diikuti dengan pengeringan dibawah sinar matahari dan pengemasan. Sekelompok kecil masyarakat telah menggunakan oven sebagai alat pengering (Cahyono, 2007).
Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa tampilan fisik dari produk simplisia oven lebih cerah dibanding dengan pengeringan sinar matahari sehingga pengeringan dengan oven lebih disarankan guna memenuhi tuntutan SNI. Bagaimanapun, penelitian sistematis yang mencoba membandingkan kualitas kurkuminoid dari rimpang temulawak akibat perbedaan metode pengeringan hingga saat ini belum pernah dilaporkan.
Perbedaan tampilan fisik berupa warna dari produk simplisia yang dikeringkan dengan oven dan sinar matahari tersebut dapat dimungkinkan karena telah terjadi perubahan kualitas dan kuantitas kurkuminoid yang terkandung didalam produk simplisia. Kurkumin merupakan pigmen berwarna kuning dari serbuk kunyit (Jasim dan Ali, 1988). Kurkumin tersedia secara komersial yang terdiri atas campuran ketiga golongan kurkuminoid dimana kurkumin sebagai pigmen utamanya (Ahsan dkk., 1999). Lin dkk. (2009) menyatakan bahwa mikroemulsi yang mengandung kurkumin tetap berwarna kuning transparan selama kurang lebih 14 hari pada suhu 37oC. Namun kurkumin mengalami degradasi dibawah kondisi asam, basa, pengoksidasian, dan pencahayaan. Kurkumin mengalami degradasi setelah diekspose dengan cahaya UV dan daylight, hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan dengan kromatografi lapis tipis kinerja tinggi yang ditunjukkan telah terbentuk 3 dan 5 totol warna untuk setiap perlakuannya, secara berturut-turut (Ansari dkk., 2005). Kurkumin mengalami fotodegradasi ketika dipaparkan terhadap cahaya didalam larutan seperti dalam bentuk padatan (Tonnesen dkk., 1985). Perlakuan pemanasan berupa pendidihan serbuk kunyit selama 20 menit menyebabkan kandungan kurkumin mengalami penurunan sebesar 32% (Suresh dkk., 2007).

Daftar Pustaka
Ahsan, H., Parveen, N., Khan, N.U., and Hadi, S.M., (1999), Pro-oxidant, Anti-Oxidant and Cleavage Activities on DNA of Curcumin and its Derivatives Demethoxycurcumin and Bisdemethoxycurcumin, Chem.-Biol. Interact., 121, pp. 161-175.
Ansari, M.J., Ahmad, S., Kohli, K., Ali, J., and Khar, R.K., (2005), Stability -Indicating HPTLC Determination of Curcumin in Bulk Drug and Pharmaceutical Formulations, Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 39, pp. 132-138.
Jayaprakasha, G.K., Rao, L. J. M., and Sakariah, K. K., (2002), Improved HPLC Method for the Determination of Curcumin, Demethoxycurcumin, and Bisdemethoxycurcumin, J. Agric. Food Chem., 50, pp. 3668-3672.
Iqbal, M., Sharma, S.D., Okazaki, Y., Fujisawa, M., and Okada, S., (2003), Dietary Supplementation of Curcumin Enhances Antioxidant and Phase II Metabolizing Enzymes in ddY male mice: possible role in protection against chemical carcinogenesis and toxicity, Pharmacol. Toxicol., 92, pp. 33-38
Kelloff G. J., Crowell, J.A., Steele, V.E., Lubet, R.A., Malone, W.A., Boone, C.W., Kopelovich, L., Hawk, E.T., Lieberman, R., Lawrence, J.A., Ali, I., Viner,
J.L., and Sigman, C.C., (2000), Progress in Cancer Chemoprevention Development of Died Derived Chemopreventive Agents, J. Nutrit, 130, pp. 467(s)-471(s)

Jayaprakasha, G.K., Rao, L. J. M., and Sakariah, K.K., (2005), Chemistry and Biological Activities of C. Longa, Trends in Food Science & Technology, 16, pp. 533-548
Cahyono, B., (2007), Standardisasi Bahan Baku Obat Alam, Seminar Nasional Penggunaan Obat Bahan Alam dalam Pelayanan Kesehatan, Semarang.
Jasim, F. and Ali, F. (1988), A Novel Method for The Spectrophotometric Determination of Curcumin and its Application to curcumin spices, J. Microchem., 38, p, 106.
Lin, C.-C., Lin, H.-Y., Chen, H.-C., Yu, M.-W., and Lee, M.-H., (2009), Stability and Characterisation of Phospholipid-Based Curcumin-Encapsulated Microemulsions, Food Chemistry, 116, pp. 923–928
Suresh, D., Manjunatha, H., and Srinivasan, K., (2007), Effect of heat processing of spices on the concentrations of their bioactive principles: Turmeric (Curcuma longa), red pepper (Capsicum annuum) and black pepper (Piper nigrum), J. Food Comp. Anal., 20, pp. 346-351.

Tonnesen, H.H. and Karlsen, J., (1985), Studies on Curcumin and Curcuminoids. VI. Kinetics of Curcumin Degradation in Aqueous Solution, Z. Lebensm, Unters. Forsch., 180, pp. 402-404.

Comments

Popular posts from this blog

Tepung Terigu dan Standar Nasional Tepung Terigu

PT. So Good Food Jl. Raya Solo - Boyolali

Tepung Tapioka kegunaannya dan Standar Nasional